Sinematografi & Perfilman Indonesia

Sinematografi Korea mungkin masih dianggap terlalu muda jika dibandingkan dengan Hollywood yang menjadi pionir dalam industri film. Tetapi keunggulan industri film tidak hanya ditentukan oleh lamanya pengalaman namun juga kreatifitas para sinematograf. Sebagai negara yang telah maju di bidang perekonomian, apresiasi terhadap seni film yang dilakukan para aktor di depan maupun di belakang layar lebar tentulah berpengaruh positif terhadap kesuksesan dunia perfilman Korea. Apresiasi terhadap profesionalitas kerja yang dilakukan para tokoh seni tersebut tentulah dengan memproduksi sinema-sinema berkualitas dan berkelas dunia. Jika dicermati, para kreator dapat maksimal berkreatifitas jika didukung oleh suasana politik dan ekonomi yang stabil. Dengan melihat perkembangan sinematografi, kita dapat melihat bahwa perfilman Korea secara bertahap mengejar kesuksesan dunia perfilman Hollywood.

Membicarakan perkembangan film, tentunya terelasi dengan sejarah lahirnya film di Korea hingga kesuksesannya sejauh ini. Munculnya film pertama kali di Korean sekitar tahun 1923, saat Korea berada dalam kungkungan pemerintah Jepang. Karena isinya mengkritik kekejaman polisi Jepang, pemerintah segera memberlakukan sensor ketat demi kepentingan politiknya. Setelah berakhirnya pemerintahan Jepang pada 1945, industri perfilman kolaps karena adanya perang saudara yang akhirnya memisahkan Korea menjadi dua bagian; utara dan selatan. Baru tahun 1955 dunia layar lebar mulai bangkit dan berjaya selama 15 tahun.
Ketatnya sensor yang diberlakukan, kembali membunuh insan perfilman. Di era 1980an, konstitusi baru yang memberikan angin segar terhadap dunia film. Sedikit demi sedikit pemberlakuan sensor dihapus. Pelarangan impor film-film barat juga dicabut, tapi hal tersebut menyebabkan film-film domestik kehilangan pasar. Selanjutnya beberapa perusahaan raksasa atau istilah Koreanya, chaebol, turut terjun dalam bisnis perfilman sebagai penyandang dana sekaligus rumah produksi. Tahun 1996 ditandai dengan lahirnya sutradara-sutradara inovatif yang menyuguhkan sinema-sinema ber-genre baru. Hal tersebut mampu menarik kembali minat penonton menyerbu film-film dalam negeri.
Melihat perkembangan blantika perfilman Korea diatas, kejayaan film tidak lepas dari kebijakan positif pemerintah dibidang sensor. Tak dapat dipungkiri, ketatnya kontrol pemerintah terhadap film dapat membunuh kreatifitas para pembuat film. Beberapa dasawarsa yang lalu, Korea terkenal sebagai negara yang paling ketat dalam memberlakukan sensor. Pada tahun 1973, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Perfilman tentang double censor, yang berarti semua film harus melewati dua kali penyuntingan; pra-produksi dan pasca-produksi. Jika diketahui isi film berbeda dengan proposal yang diajukan kepada pemerintah, maka film tersebut mendapat label cekal. Sehingga ketika Undang-Undang Perfilman segera direvisi pada tahun 1985, semangat pencipta-pencipta seni dalam berkreasi kembali bangkit.
Dibukanya kebebasan berkreatifitas mengundang para pembuat film untuk tidak ragu mengangkat polemik politik sebagai tema film mereka. Salah satunya adalah Simildo (2003), film unggulan karya sutradara berpengalaman, Kang Woo-seok. Kang pernah menyatakan bahwa film hasil garapannya hanyalah film berbasis entartainment biasa, dia tak pernah bermaksud menyinggung masalah-masalah sosial. Kenyataannya, Simildo merupakan film yang tidak secara sengaja mengambil latar belakang politik dan berhasil memuaskan animo penonton terhadap sinema lokal. Film ini diangkat berdasarkan peristiwa nyata di Semenanjung Korea tahun 1971 pada masa perang dingin antara dua Korea yang bertikai. Film yang terang-terangan mengungkap sejarah yang terkebiri ini merupakan sebuah refleksi nyata kemajuan demokrasi di Korea Utara. Jika Kang merilis film sejenis pada 30 dasawarsa yang lalu, pasti film tersebut dan dicekal dan dia ditahan. Keberanian Kang mempublikasikan polemik yang terjadi diantara Korea Selatan dan Korea Utara berhasil memenangkan penghargaan Nobel Perdamaian dari Presiden Kin Dae Jung pada tahun 2000.
Selain dukungan pemerintah, menguatnya bisnis perfilman Korea juga dipengaruhi kesuksesan dibidang bisnis dan stabilitas perekonomian. Di penghujung 1980an, perindustrian film terpuruk akibat kalah bersaing dengan produksi-produksi Hollywood. Salah satu anggota chaebol ikut bergabung mengelola industri film dan memberi dukungan finansial serta mengatur tentang produksi, ekshibisi, distribusi sebuah film. Marriage Story (1992) yang disutradai oleh Kim Ui-seok merupakan film pertama yang pengerjaannya di bawah Samsung.
Kebesaran industri film sangat tergantung pada kreatifitas dan kontinuitas para pencipta film dalam berkarya. Dalam hal ini Korea memiliki banyak sutradara berbakat yang terus menerus memperkokoh panggung layar lebar. Adalah Im Kwong Taek sebagai salah satu sutradara yang antusias memajukan sinematografi Korea. Segera setelah menyadari mutu film-film produksinya hanya berorientasi pada komersialisme dengan mutu jauh dibawah sinema-sinema barat, Im mulai memproduksi film yang lebih berorientasi pada seni. Dia mencoba berkreasi dan menggali kembali elemen tradisional dan budaya Korea yang terlupakan, sehingga terciptalah film Mandala (1981). Karya spektakulernya Sopyonje (1993) mampu membangunkan kembali nilai seni sinematografi Korea. Sebuah film ber-genre popular baru Marriage Story (1992) karya Kim Ui-seok mendapat sambutan meriah dengan menyajikan film komedi perang dan romanisme. Film yang mulai berani menyentuh dunia politik sebagai bentuk kebebasan berekspresi disuguhkan Park Kwang-soo dalam Chilsu and Mansu (1988) dan Kang Woo-seok dengan Simildo (2003). Dari tangan-tangan dingin merekalah lahir film-film yang mampu menggerakkan mata dunia menyaksikan film-film Asia yang berstandar internasional.
Usaha para pendahulu menekuni profesionalitas seorang sineas, telah mendorong lahirnya sineas-sineas muda yang lebih kreatif dalam berkarya. Diakhir millenium kedua, ada banyak sutradara baru yang tertarik memulai debutnya dengan memproduksi film-film komersial. The Contact (1997) hasil karya Chang Yoon-hyun berhasil menembus box-office Korea. Disusul kemudian keberhasilan Kang Je-gyu dalam Shiri (1999) dan Park Chan-wook dalam Joint Security Area (2000). Salah seorang sutradara yang lebih kontroversial, Kim Ki-duk, berani melakukan membuat film dengan metode penggarapan baru, kasar tetapi secara visual menarik ditonton. Filmnya, The Isle (2000) mampu memenangkan penghargaan internasional meskipun kemudian menuai protes kritikus dalam negeri.
Berkat kontinuitas para kreator seni film serta dukungan pemerintah dan dunia ekonomi, sejak 1999 dunia perfilman Korea berhasil mengalahkan pangsa pasar film-film Hollywood yang mendominasi bioskop Korea. Geliat perfilman Korea yang telah mampu menundukkan pasar domestik juga telah melebarkan sayap ke wilayah regional dan juga internasional. Dengan menyublimasi kendala bahasa, bukan tidak mungkin jika perfilman Korea akan mampu bersaing dengan Hollywood dalam menginvasi bioskop-bioskop dunia. (*)


PERFILMAN INDONESIA ..
Dari Wikipedia bahasa Indonesia.
Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy, Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Nike Ardilla, Paramitha Rusady.
Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.
Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, penyanyi cilik penuh bakat Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara komersil.
Setelah itu muncul film film lain yang lain dengan segmen yang berbeda-beda yang juga sukses secara komersil, misalnya film Jelangkung yang merupakan tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada film Ada Apa dengan Cinta? yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra ke kancah perfilman yang merupakan film romance remaja. Sejak saat itu berbagai film dengan tema serupa yang dengan film Sherina (film oleh Joshua, Tina Toon), yang mirip dengan Jelangkung (Di Sini Ada Setan, Tusuk Jelangkung), dan juga romance remaja seperti Biarkan Bintang Menari, Eiffel I'm in Love. Ada juga beberapa film dengan tema yang agak berbeda seperti Arisan! oleh Nia Dinata.
Selain film-film komersil itu juga ada banyak film film nonkomersil yang berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudul Pasir Berbisik yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dengan Christine Hakim dan Didi Petet. Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh Christine Hakim seperti Daun di Atas Bantal yang menceritakan tentang kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film Garin Nugroho yang lainnya, seperti Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, juga ada film Marsinah yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu juga ada film film seperti Beth, Novel tanpa huruf R, Kwaliteit 2 yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. Festival Film Indonesia juga kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun.
Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film Hollywood. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju ke sana telah terlihat.

Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Film ini dibuat dengan aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.[1] Setelah itu, lebih dari 2.200 film diproduksi.
[sunting] Film Indonesia Terbaik

Sudah sejak lama ada beberapa pihak baik itu institusi, media ataupun perorangan yang berusaha menggolongkan film-film Indonesia sepanjang masa yang layak menjadi film yang terbaik berdasarkan kategori-kategori tertentu. Salah satunya adalah tabloid Bintang Indonesia yang pada akhir tahun 2007 berusaha memilah film-film apa saja yang dapat dikategorikan sebagai film Indonesia terbaik. Dari 160 film yang masuk dipilihlah 25 film yang dapat dikategorikan sebagai film-film Indonesia terbaik sepanjang masa. Film-film tersebut dipilih oleh 20 pengamat dan wartawan film yakni: Yan Widjaya (wartawan film senior), Ilham Bintang (wartawan film senior), Ipik Tanojo (Bali Post), Eric Sasono (pengamat film), Arya Gunawan (pengamat film), Noorca M. Massardi (wartawan film senior), Yudhistira Massardi (Gatra), Leila S. Chudori (Tempo), Frans Sartono (Kompas), Yusuf Assidiq (Republika), Aa Sudirman (Suara Pembaruan), Taufiqurrahman (The Jakarta Post), Eri Anugerah (Media Indonesia), Sandra Kartika (Wakil Pemimpin Redaksi Tabloid Teen), Telni Rusmitantri (Cek n Ricek), Ekky Imanjaya (situs Layarperak.com), Wenang Prakasa (Movie Monthly), Orlando Jafet (Cinemags), Poernomo Gontha Ridho (Koran Tempo), dan Ekal Prasetya (Seputar Indonesia)[2]. Ke-25 Film tersebut adalah:
1. Tjoet Nja’ Dhien (1986)
2. Naga Bonar (1986)
3. Ada Apa dengan Cinta? (2001)
4. Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985)
5. Badai Pasti Berlalu (1977)
6. Arisan! (2003)
7. November 1828 (1978)
8. Gie (2005)
9. Taksi (1990)
10. Ibunda (1986)
11. Tiga Dara (1956)
12. Si Doel Anak Betawi (1973)
13. (Cintaku di) Kampus Biru (1976)
14. Doea Tanda Mata (1984)
15. Si Doel Anak Modern (1976)
16. Petualangan Sherina (1999)
17. Daun di Atas Bantal (1997)
18. Pacar Ketinggalan Kereta (1988)
19. Cinta Pertama (1973)
20. Si Mamad (1973)
21. Pengantin Remaja (1971)
22. Cintaku di Rumah Susun (1987)
23. Gita Cinta dari SMA (1979)
24. Eliana, Eliana (2002)
25. Inem Pelayan Sexy (1977)
- Jurusan Filmatologi Program Studi Teori dan Estetika (S1-Terdaftar-1985)

Fakultas Film dan Televisi
- Jurusan Sinematografi: Program Studi Penyutradaraan (D3-Terdaftar-1985); Program Studi Editing (D3-Terdaftar-1985); Program Studi Tata Visual (D3-Terdaftar-1985); Program Studi Sinematografi (D3-Terdafatr-1985); Program Studi Suara (D3-Terdaftar-1985); Program Studi Animasi (D3-Terdaftar-1985); Program Studi Skenario (D3-Terdaftar-1985); Program Studi Manajemen Produksi (D3-Terdaftar-1985)

- Jurusan Filmatologi Program Studi Teori dan Estetika Film (S1-Terdaftar-1999); Program Studi Kritik dan Analisa Film (S1-Terdaftar-1999); Program Studi Semiologi (S1-Terdaftar-1999)

0 komentar: